“Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA).
Maraknya perilaku yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan dewasa ini apakah merupakan pertanda bahwa zaman yang diisyaratkan Nabi SAW itu sudah datang? Para ustadz, guru, dan cendekiawan sudah mensinyalir hadirnya zaman itu dalam khutbah-khutbahnya. Di masjid, di pengajian, di kantor, di sekolah, di ruang diskusi, semua orang membicarakan tentang penghalalan segala cara dalam mencapai cita-cita.
Jika memang benar, alangkah berbahayanya zaman ini. Suatu zaman yang tak menentu, yang selalu goyah seperti sedang ditimpa gempa. Kita yang hidup di zaman seperti ini menjadi penuh tanda tanya. Apakah sepak-terjang kita dalam mencari nafkah sehari-harinya sudah terimbas oleh zaman itu pula?
Hadits riwayat Bukhari di atas memperingatkan kita betapa tata nilai telah bergeser sangat cepat yang mengakibatkan kita merespon zaman dengan persepsi yang sangat berbeda. Ketika tangan kita melindungi harta kita sendiri, bisa jadi tangan kita itu tiba-tiba ditepiskan tangan orang lain yang ingin merebut kekayaan kita itu.
Rupanya batas-batas kekayaan kita dengan kekayaan orang lain sudah dianggap kabur. Jika kita tak mampu membedakan lagi barang halal dengan barang haram, sesungguhnya dunia kita sudah ”kiamat”. Lalu kepada siapa masyarakat mengadu untuk menuntut keadilan, kemakmuran, kebenaran? Mampukah masyarakat menolong dirinya sendiri untuk melindungi kekayaannya?
Agaknya perjuangan para ustadz, guru, dan cendekiawan dewasa ini sudah bergeser ke arah penegakan akhlak. Tegaknya akhlak yang baik mampu menerbitkan keadilan, kemakmuran, dan kebenaran. Ketiga martabat kearifan yang diperjuangkan manusia berabad-abad lamanya atas sesamanya itu sungguh selaras dengan kehendak Tuhan.
Sebuah kisah diceritakan dalam buku Kasyful Mahjub karya Ali ibn Utsman Al-Hujwiri tentang Abu Halim Habib bin Salim Al-Ra’i, seorang sufi sahabat Salman Al-Farisi. Ia bisa menjinakkan segerombolan serigala yang sebenarnya meneteskan air liur ketika melihat biri-birinya yang ia gembalakan di tepi Sungai Eufrat.
Ia juga mampu memancurkan air susu dan air madu dari sebongkah batu yang ia suguhkan bagi tamunya. Menurut sang sufi, hal itu mampu dikerjakannya karena hasratnya selaras dengan kehendak Allah dan taat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ketika seorang syekh memintanya memberi wejangan, Al-Ra’i berkata: ”Jangan jadikan hatimu keranjang keinginan hawa nafsu dan perutmu periuk barang-barang haram.